Oleh : Dahlan Iskan
Jakarta – SELALU ada sisi lucu dari yang serius-serius. Misalnya soal Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, yang bukan dokter. Banyak pembaca mendukung itu. Bahkan ada yang beralasan begini: kan menteri pertanian juga bukan petani. Menteri kehutanannya juga bukan orang utan. Dan menteri pertahanannya bukan orang tahanan.
Tapi Budi Sadikin tetap fenomenal. Untung tidak ada tes untuk jabatan menteri: misalnya, untuk menjadi menteri kesehatan harus bisa menyuntik.
Tugas utama Menkes saat ini adalah bagaimana nego dengan pabrik vaksin.
Pertama, soal jumlah pesanan yang harus didapat. Kedua, soal harga. Ketiga, soal logistik. Tiga tugas itu tidak terlalu terkait dengan keahlian sebagai dokter.
Vaksin adalah game changer. Ia pengubah arah: dari kuburan ke restoran. Ia adalah matahari: yang bisa membuat gelap menjadi terang. Ia psikiater: bisa menyembuhkan jiwa yang gila menjadi normal. Ia pendidik: bisa menghilangkan kebodohan.
Vaksin, praktis segala-galanya
Maka penanganan vaksinasi mutlak harus sukses. Gagal di vaksinasi adalah bencana yang lebih besar. Virus korona yang mewabah setelah vaksinasi yang gagal menjadi lebih ganas.
Banyaknya orang yang ogah vaksinasi –tanpa alasan medis– adalah salah satu penyebab gagalnya vaksinasi itu nanti. Berarti mereka pemicu datangnya virus korona yang lebih ganas.
Tentu masih banyak penyebab gagalnya vaksinasi. Misalnya jumlah vaksin yang diimpor tidak mencukupi 70 persen jumlah penduduk. Untuk dua kali penyuntikan.
Berarti kita harus memiliki keterampilan dan daya tekan negosiasi tingkat global. Singapura, Brunei, Malaysia, Hongkong, dan negara kecil lainnya tidak masalah. Mereka hanya perlu jumlah vaksin sebanyak satu kota Surabaya.
Sedang kita, perlu setidaknya 350 juta unit. Sedang yang datang baru 1,2 juta. Yang akan datang berikutnya juga belum banyak –diukur dari kebutuhan.
Padahal seluruh dunia kini berebut vaksin. Apalagi setelah Presiden Donald Trump mengancam Pfizer: akan mengeluarkan dekrit diberlakukannya UU Keamanan Nasional. Yang bisa memaksa Pfizer menyerahkan seluruh produk vaksinnya hanya untuk Amerika.
Untunglah Pfizer melunak. Yang semula hanya memberi jatah 100 juta unit untuk Amerika –sesuai dengan kontrak awal pembelian– ditambah 100 juta lagi.
Pfizer ganti menekan pemerintah Amerika. Untuk bisa memberi fasilitas akses yang lebih besar terhadap bahan baku vaksin.
Begitu sentralnya vaksin Covid ini sampai-sampai Paus Francis, mengeluarkan fatwa halal bagi umat Katolik. Tentu itu fatwa darurat. Pada dasarnya Katolik menolak vaksin Pfizer dan Moderna itu: proses penelitian pembuatannya menggunakan janin hasil aborsi. Padahal aborsi haram di kalangan Katolik.
Maka pengadaan vaksin untuk negara sebesar kita tidaklah mudah. Apalagi ada tekanan waktu: proses vaksinasi itu harus selesai sebelum setahun dari awal dimulainya vaksinasi. Agar yang belum vaksinasi tidak sempat menularkan virus ke mereka yang masa kekebalan vaksinasinya sudah lewat.
Begitu berat tugas Budi Sadikin. Termasuk menjaga campur tangan para garong, copet, maling, rampok, dan bajak laut.
Yang juga berat adalah tugas menteri agama yang baru: Yaqut Cholil Qoumas. Kalau Budi Sadikin menghadapi musuh yang tidak tampak –virus Covid 19– Yaqut juga menghadapi musuh yang gaib: perasaan keagamaan.
Memang menteri agama yang lama, Fachrur Razi dinilai tidak mampu. Padahal ia seorang jenderal bintang tiga. Tapi Yaqut kan jenderal bintang sembilan. Ia jenderalnya Banser –organisasi pemuda NU– dan ia bintang sembilan –lambang NU.
Mestinya bintang sembilan lebih hebat dari bintang tiga. Kalau bintang tiga hanya bisa mengerahkan tank, panser, granat, bom, dan pesawat tempur, bintang sembilan mestinya bisa mengerahkan sampai pasukan jin.
Artinya: tidak perlu pakai kekerasan. Baik kekerasan kata-kata maupun tindakan. Habib Rizieq Shihab dan FPI itu adalah rakyat Indonesia. Mestinya mereka bukan musuh. Mereka adalah anak-anak yang punya watak berbeda dengan anak lainnya. Pasti ada cara selain memusuhi mereka. Bahkan HRS itu kan orang NU dan bangga pada NU.
Pasti Yaqut lebih mampu dari Budi Sadikin. Menkes baru itu tidak bisa mengerahkan jin untuk membuat vaksin. Sedang Yaqut bisa menjadi wali ke-10 untuk menghadapi saudara sebangsa yang berbeda cara.
Kalau pun gelar wali ke-10 itu sudah telanjur diberikan kepada Gus Baha’, Yaqut masih bisa menjadi wali ke-11.
Walisongo pun tidak akan keberatan dengan munculnya banyak wali di zaman setelah mereka. Maafkan, Gus Dur wali ke berapa ya?
(Dahlan Iskan)
Sumber : Repelita.com
Komentar