Jakarta, beritajejakfakta.com -Polemik Haikal Hassan Baras mimpi bertemu Rasulullah SAW masih hangat di masyarakat. Salah satu yang turut mengomentari yakni suami politikus muda PSI Tsamara Amany, Ismail Fajrie Alatas. Ismail menegaskan tak bisa mimpi Rasulullah SAW dipidana, verifikasinya bagaimana?
Sama seperti sebagian warga yang heran dengan kasus mimpi Rasulullah SAW dipolisikan, Ismail memandang mimpi bertemu Rasulullah SAW ini tak bisa dimasalahkan secara hukum. Alasannya jelas, mimpi ini secara hukum susah untuk verifikasinya, selain itu mimpi bertemu Rasulullah SAW lebih tepatnya masuk otoritas keagamaan.
Ismail mengatakan, dalam tulisannya pengalaman mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW jelas masuk dalam wilayah otoriotas keagamaan bukan hukum positif. Mimpi ini pun, susah untuk diverifikasi oleh aparat hukum, apakah orang yang bermimpi ini bohong atau tidak.
Perkara narasi mimpi Rasulullah SAW dimanfaatkan untuk pembohongan publik demi kepentingan tertentu, Ismail tetap susah untuk mengujinya di hadapan hukum. Sebab bagaimana memverifikasi mimpi itu benar adanya atau bohong.
“Memang anda bisa memverifikasi kebenaran/kebohongan mimpi orang lain? Kan gak bisa. Setiap klaim mimpi ya pada akhirnya klaim. Untuk sebagian orang itu benar, dan sebagian lainnya itu tidak benar. Gitu kan?” jelasnya, dikutip Jumat 18 Desember 2020.
Nah pandangan Ismail ini mendapat balasan dari kubu pelapor Haikal Hassan.
Muannas Alaidid misalnya mencoba menjelaskan kenapa rekannya Habib Husin Alwi Shahab memolisikan Haikal Hassan.
Muannas menjelaskan, yang diperkarakan bukan mimpinya tapi soal manuver membohongi publik menggunakan legitimasi mimpi bertemu Rasulullah SAW, dan melawan penegak hukum. Menurut Muannas, kelakuan Haikal ini bisa masuk delik penghasutan.
Terkait argumen Muannas itu, Ismail sepakat penghasutan memang masuh ranah hukum apapun legitimasinya entah pakai mimpi benar atau mimpi bohong. Namun lagi-lagi Ismail tetap menegaskan legitimasi menggunakan mimpi jelas lemah lantaran pembuktian atau verifikasinya tak bisa dilakukan.
“Sepakat. Kalau penghasutan, apa pun basisnya ya salah, baik itu mimpi yang benar atau bohong. Fokus persoalannya adalah soal penghasutan. Tapi mimpi kan tidak bisa diverifikasi benar atau tidak. Jadi kita tidak bisa bilang bahwa mimpi itu bohong,” kata dia.
Kawan Muannas, Husin Shahab yang melaporkan Haikal Hassan turut dalam pedebatan mimpi apakah masuk ukum atau tidak.
Husin Shahab yang merupakan Sekjen Forum Perjuangan Indonesia (FPI) itu mengeluhkan banyak yang tidak paham dia melaporkan Haikal Hassan ke polisi. Malah dia curhat juga, Menkopolhukam Mahfud MD pun termakan framing soal mimpi kok dilaporkan.
“Sekelas Menkopolhukam saja bisa terjebak dgn framing mrk bhw “mimpi kok dilaporkan”. Bahkan gus @na_dirs pun ngertinya kita melaporkan bunga tidur. Sementara kita fokus thd pesan provokatif yg disampaikan HH terkait mati syahidnya 6 org laskar FPI yg diduga melawan negara,” tulis Husin Shahab dalam cuitannya.
Bukan mimpi Rasululah SAW tapi penghasutan atau provokasi
Nah perdebatan mimpi kok dilaporkan ini juga mengundang pakar hukum dan sejarawan, Samardi ikut nimbrung.
Membalas pendapat dari Ismail, Samardi sepakat dengan suami Tsamara Amany itu. Mimpi tidak masuk ranah hukum. Dia memberikan penjelasan soal posisi mimpi dan hukum pidana.
“Setuju. Hukum pidana ga masuk ranah itu. Jika karena mimpi dia menghasut/memprovokasi orang maka yang bisa dimasuki ranah pidana adalah perbuatan menghasut/memprovokasinya, bukan mimpinya.( Bagaimana hukum pidana menguji sebuah mimpi? Minta keterangan nabi Yusuf sebagai ahli?” katanya.
Selanjutnya dia mengatakan, jika mimpi bisa dilaporkan dalam hukum pidana, maka urusannya akan menjadi kacau balau.
“Ya gawat aja kalo mimpi langsung tembak pidana, mimpi basah sama istri orang ntar dianggap melanggar 284 KUHP-WvS. Jadi pisahkan ya netijen, mimpi sebagai hal metafisika yang bukan ranah hukum pidana dengan perbuatan fisik yang mau ada mimpi atau ngga memang tindak pidana,” jelasnya.(red/hops)
Komentar