Sebelumnya diberitakan, kelima rumah warga rata dengan tanah usai digusur pengadilan pada 30 Januari 2025.
Penggusuran merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk bernomor sertifikat 335 yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada 1976.
Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada 1976.
Dalam perjalanannya, SHM 325 dengan luas lahan 3,6 hektare berganti-ganti kepemilikan.Awalnya, lahan dimiliki Djuju, kemudian dijual ke Abdul Hamid. Oleh Abdul Hamid, lahan dijual ke Kayat.
Oleh Kayat dipecah menjadi empat bidang, yakni SHM 704, 705, 706, dan 707.Selanjutnya, Kayat melepas dengan SHM 704 dan 705 ke Toenggoel Paraon Siagian. Sedangkan SHM 706 dan 707 dijual acak oleh Kayat.
Setelah berulang kali berganti nama pemilik, Mimi kemudian menggugat semua pemilik. Dari gugatan ini diketahui bahwa transaksi jual beli lahan antara Djuju dan Abdul Hamid bermasalah.
Djuju membatalkan sepihak jual beli lahan setelah Abdul Hamid gagal membayar keseluruhan nilai lahan. Gugatan yang diajukan Mimi bermodalkan Akta Jual Beli (AJB) antara Djuju dan Abdul Hamid.
Singkatnya, pada 2019, Toenggoel menjual lahan SHM 705 ke Bari setelah mengetahui pihak Mimi mengajukan eksekusi pengosongan lahan pada 2018. Dari pembelian lahan ini, nama pemilik SHM 705 berganti, dari Toenggoel menjadi atas nama Bari.
Dari pembelian ini, kelak berdiri Cluster Setia Mekar Residence 2. Selain cluster, juga terdapat tiga bidang tanah lain yang dieksekusi, antara lain SHM 704, 706, dan 707. (Red)