Jakarta,beritajejakfakta.com – Ind Police Watch (IPW) memberi apresiasi pada Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Kabareskrim Komjen Agus yang sudah menaikkan status penanganan kasus penembakan di Km 50 Cikampek, yang menewaskan enam laskar FPI.
Untuk itu IPW mendesak agar pihak pihak yang menangani kasus penembakan ini segera membuka akses komunikasi HP para polisi di lapangan yang diduga menembak keenam laskar FPI tsb.
Menurut Neta S Pane, Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW)mengatakan tujuannya agar diketahui, sebelum penembakan terjadi apakah mereka berkomunikasi dengan atasannya, dengan perwira berpangkat AKBP, Kombes atau perwira berpangkat jenderal.
“Lalu apa isi komunikasi mereka? Adakah perintah penembakan atau tidak dalam komunikasi tsb? Sangat mustahil jika dalam penguntitan itu tidak terjadi komunikasi dan koordinasi. Dan sangat mustahil seorang anak buah tidak melakukan koordinasi dan bertindak sendiri sendiri, padahal penguntitan itu perintah atasannya,” terangnya.
Karena kata Neta, selama ini akses komunikasi tersebut sepertinya belum dibuka, baik oleh Komnas HAM maupun oleh Tim FPI, padahal disana ada jejak digital yang bisa menjadi petunjuk.
“Sebelum dihilangkan pihak pihak yang tidak bertanggung jawab, jejak digital itu harus diamankan,” tegasnya, baru – baru ini dalam siaran persnya.
Dinaikkannya status penanganan kasus ini adalah langkah baru dari Kapolri dan Kabareskrim untuk menyelesaikan kasus ini dengan tuntas.
“Sehingga dugaan unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh tiga anggota Polda Metro Jaya terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) yang tewas di Tol KM 50 Jakarta-Cikampek bisa dituntaskan dengan transparan,” bebernya.
Dengan naiknya penyelidikan menjadi penyidikan, berbagai bukti, saksi, dan info baru bisa bermunculan. Temuan Komnas HAM sendiri mengindikasikan adanya unlawfull killing (pembunuhan di luar proses hukum) terhadap keempat anggota laskar FPI.
Sehingga lanjut Neta ,Komnas HAM meminta kasus ini diproses hingga ke persidangan. Guna membuktikan indikasi yang disebut unlawfull killing. Komnas HAM sudah menyerahkan seluruh barang bukti, hasil temuan serta rekomendasi kepada Polri dengan harapan dapat memperjelas peristiwa penembakan laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek KM 50.
Namun Komnas HAM sepertinya belum membuka jejak digital komunikasi para polisi di lapangan dengan atasan mereka yang memerintahkan aksi penguntitan, kata Neta.
Neta lebih jauh secara gamblang mengungkap bagaimana pun para polisi reserse itu menguntit laskar FPI berdasarkan perintah atasannya, mulai dari berpangkat AKBP, Kombes hingga jenderal.
“Artinya, sepanjang penguntitan itu pasti terjadi komunikasi intensif. Tidak mungkin para polisi itu dilepas begitu saja. Sehingga segala tindakan petugas di lapangan tetap dalam kendali dan kontrol atasannya, yang juga melaporkan perkembangannya ke atasannya lagi,” bebernya.
Untuk membuka kasus ini secara transparan, semua akses komunikasi dalam proses penguntitan tersebut, Neta menyebut perlu dibuka.
Komunikasi hp antar ketiga polisi yang dituduh menembak itu dengan atasannya harus dibuka agar diketahui apa sesungguhnya perintahan atasannya itu. Begitu juga komunikasi hp atasannya dengan atasannya lagi yang berpangkat jenderal juga harus dibuka secara transparan.
“Agar diketahui apa perintahnya, apakah ada perintah penembakan atau tidak. Semua identitas mereka, mulai polisi di lapangan, atasannya yang berpangkat AKBP, Kombes maupun jenderal harus dibuka secara transparan,” tandas Neta.
Sikap transparan sangat diperlukan agar kasus ini tuntas secara terang benderang. Sebab menyelesaikan kasus dugaan unlawful killing terhadap laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek hingga ke pengadilan sudah menjadi rekomendasi Komnas HAM.
Tentunya Polri harus mendukung perkara ini dituntaskan secara profesional, transparan, akuntabel, dan presisi. Sebab itu IPW memberi apresiasi pada Kapolri dan Kabareskrim yang sudah meningkatkan penangan kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan, pungkas Neta. (SF)
Komentar