Oleh: Hj. Sri Maryati, S.Psi., CH., CHt,- Ketua Srikandi LMP Kota Bekasi dan Ketua Praktisi Psikologi dan Hipnoterapis (PRAHIPTI) Kota Bekasi
beritajejakfakta.id -Dengan rasa prihatin yang mendalam dan sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan anak-anak di Kota Bekasi, saya Hj. Sri Maryati, S.Psi., CH., CHt, selaku Ketua Srikandi Laskar Merah Putih (LMP) Kota Bekasi, menyampaikan pernyataan sikap terkait maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang pelakunya juga masih anak-anak.
Kasus yang terjadi pada Mei 2025 lalu, dimana seorang anak berusia 8 tahun diduga melakukan pencabulan terhadap temannya yang berusia 4 tahun di toilet masjid, telah mengguncang hati nurani kita semua.
Tidak berhenti di situ, kasus serupa kembali terjadi dengan pelaku bocah berusia 12 tahun yang diduga melakukan sodomi terhadap 4 anak korban.
Fenomena ini bukan lagi sekedar angka statistik, melainkan ‘alarm keras’ yang memperingatkan kita bahwa sistem perlindungan anak di kota kita sedang menghadapi krisis yang sangat serius.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, tercatat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak secara nasional, dimana 8.674 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Di tingkat regional Bekasi, pada periode Januari hingga Mei 2024 saja, tercatat 45 kasus kekerasan anak.Angka-angka ini bukan sekedar statistik dingin, melainkan representasi dari penderitaan nyata anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan dan kasih sayang.
“Saya memahami betapa kompleksnya permasalahan ini. Dari sisi korban, anak-anak yang mengalami kekerasan seksual akan menghadapi dampak psikologis yang berkepanjangan, ucapnya prihatin.
Mereka mengalami trauma psikologis akut berupa gangguan stres pasca trauma, kecemasan yang berlebihan, dan potensi depresi.
Lebih dari itu, kekerasan seksual akan mengganggu perkembangan psikoseksual mereka dan kemampuan untuk bersosialisasi secara sehat.
“Yang tak kalah memprihatinkan adalah stigmatisasi sosial yang seringkali menimpa korban, yang justru dapat memperparah trauma yang mereka alami,” beber Maryati.
Untuk melindungi korban, kita memerlukan pendekatan trauma-informed care yang komprehensif. Pertama, harus dibentuk Tim Tanggap Darurat Perlindungan Anak dengan protokol standar yang jelas dan terukur.
Kedua, penyediaan layanan konseling trauma yang dikhususkan untuk anak dengan tenaga profesional yang terlatih. Ketiga, pengembangan rumah aman atau safe house yang dirancang khusus untuk kebutuhan anak.
Ke empat, pelatihan intensif bagi petugas penegak hukum dalam teknik wawancara yang ramah anak, sehingga proses hukum tidak menimbulkan trauma tambahan.
Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa pelaku dalam kasus-kasus ini juga masih anak-anak.
Fenomena child-on-child sexual abuse ini memerlukan pemahaman yang mendalam tentang dinamika psikologis yang terjadi.
Berdasarkan teori Social Learning dari Albert Bandura, perilaku agresif termasuk kekerasan seksual dapat dipelajari melalui observasi dan imitasi.
Anak yang terpapar kekerasan seksual berpotensi mengimitasi perilaku tersebut jika tidak mendapat intervensi yang tepat.
Teori Ecological Systems dari Urie Bronfenbrenner juga menjelaskan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh berbagai sistem lingkungan mulai dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga budaya yang lebih luas.
Kegagalan dalam salah satu sistem ini dapat menciptakan faktor risiko yang signifikan.
Sementara itu, David Finkelhor melalui Four Preconditions Model mengidentifikasi empat prekondisi terjadinya abuse: adanya motivasi, berkurangnya hambatan internal, tersedianya akses, dan kemampuan mengatasi resistensi korban.
Dari pengalaman saya di lapangan sebagai seorang konselor dan praktisi kesehatan mental , beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan anak menjadi pelaku antara lain riwayat viktimisasi sebelumnya.
Berdasarkan Cycle of Violence Theory dari Widom, sekitar 30% anak yang mengalami kekerasan berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari.
Selain itu, paparan konten seksual di usia dini dapat memicu perilaku seksual yang maladaptif.
Gangguan dalam pola kelekatan atau attachment, sebagaimana dijelaskan dalam teori Bowlby, juga dapat menyebabkan perilaku agresif seksual. Penelitian neurobiologis dari Teicher tahun 2002 bahkan menunjukkan bahwa trauma masa kanak-kanak dapat mengubah struktur otak anak.
Menghadapi kompleksitas ini, penanganan pelaku anak tidak bisa dengan pendekatan kriminalisasi seperti pelaku dewasa.
Mereka memerlukan intervensi rehabilitatif yang meliputi Cognitive Behavioral Therapy yang disesuaikan dengan usia, terapi keluarga untuk memperbaiki sistem dukungan, program rehabilitasi berbasis komunitas, dan monitoring serta supervisi jangka panjang.
Yang paling mendesak adalah implementasi program pencegahan dan screening komprehensif, khususnya dimulai dari tingkat sekolah dasar, tegas Maryati.
“Kita memerlukan sistem deteksi dini yang menggunakan instrumen standar seperti Behavioral Assessment Scale for Children untuk mengidentifikasi perilaku bermasalah, Trauma Symptom Checklist for Children untuk mendeteksi riwayat trauma, dan Child Protective Factors Survey untuk mengukur faktor protektif dalam keluarga, ” ungkapnya.