ASPEK Indonesia : Refleksi Akhir Tahun 2020, Pandemi Menyerang, Omnibus Law Melenggang dan Kesejahteraan Menghilang

Jakarta,beritajejakfakta.com – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menyatakan keprihatinannya atas berbagai kondisi yang dialami bangsa dan negara Republik Indonesia selama kurun waktu tahun 2020.

Keprihatinan terbesar yang menjadi pukulan telak bagi masa depan Bangsa Indonesia, khususnya di bidang ketenagakerjaan adalah adanya pandemi Covid 19 yang berdampak terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan disahkannya Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.

Siaran pers ASPEK Indonesia yang diterima redaksi, Kamis (31/12/2020), Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat bersama
Sabda Pranawa Djati, SH selaku
Sekretaris Jenderal, menyatakan ada tiga point penting yang harus menjadi evaluasi pemerintah di tahun 2021 yakni pertama tentang Penangganan Pandemi Covid 19 yang harus lebih difokuskan dan dimaksimalkan, ke dua Penangganan Jutaan Tenaga Kerja Indonesia yang menjadi korban PHK Dampak Covid 19.

Lalu ke tiga terkait Omnibus Law tentang UU Cipta Kerja yang dinilai melukai rakyat Indonesia karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Pertama, Pandemi Covid 19 telah menewaskan puluhan ribu nyawa manusia di Indonesia, termasuk menewaskan tenaga medis yang menjadi garda terdepan penanganan pandemi Covid 19. Data per Senin 28/12/2020 (https://covid19.go.id/); kasus positif Covid-19 bertambah menjadi 719.219 kasus.

Pasien sembuh bertambah menjadi 589.978 orang. Pasien meninggal bertambah menjadi 21.452 orang. Sikap “menyepelekan” pandemi yang dipertontonkan Pemerintah sejak awal serta berbagai kebijakan yang saling tumpang tindih di internal Pemerintah, membuat pencegahan virus Covid 19 tidak maksimal.

“Minimnya ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk para dokter, perawat, petugas ambulan dan pekerja kesehatan lainnya menjadi keprihatinan ASPEK Indonesia sejak pertama Covid 19 masuk Indonesia,” ungkap Presiden Aspek Indonesia.

Ke dua terkait PHK Massal Akibat Covid 19. Dampak pandemi Covid 19 juga mengakibatkan terjadinya PHK massal yang dilakukan sepihak oleh perusahaan, sebagian lagi dirumahkan tanpa dibayar upahnya, serta tidak dibayarkannya Tunjangan Hari Raya (THR) saat hari Idul Fitri tahun 2020.

KADIN Indonesia mencatat hingga awal Oktober 2020 sudah lebih dari 6,4 juta pekerja di PHK. Sementara menurut data Kementerian Keuangan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 2,67 juta orang. Sehingga per bulan November 2020 ini total jumlah pengangguran sudah mencapai 9,77 juta orang.

Dalam kondisi pandemi saat ini, selayaknya perusahaan tidak hanya mementingkan pendapatan dan laba perusahaan saja, atau bahkan dengan sengaja mengabaikan aspek kesehatan dan keselamatan pekerjanya.

Sepanjang 2020, ASPEK Indonesia telah mendesak Pemerintah untuk tegas dalam kebijakannya, agar perusahaan tetap membayar penuh gaji dan THR pekerjanya serta memberikan insentif khusus dan terbatas pada perusahaan yang terdampak.

” ASPEK Indonesia sangat menyayangkan adanya pengusaha yang terkesan memanfaatkan pandemi Covid 19 untuk mengurangi bahkan menghilangkan hak normatif pekerja, termasuk melakukan PHK sepihak kepada pekerjanya tanpa membayar pesangon sesuai ketentuan Undang Undang Ketenagakerjaan,” tutur Mirah.

Ke tiga, Omnibus Law UU Cipta Kerja Disahkan, Semakin Menggerus Hak Normatif Pekerja.

Di tengah penyebaran virus Covid 19 dan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ternyata Pemerintah justru “ngotot” untuk melanjutkan pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja), hingga dipaksakan pengesahannya oleh DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020. Serta akhirnya diundangkan pada 2 November 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Sejak awal proses legislasi, mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan, UU Cipta Kerja telah memicu kontroversi dan kritik dari masyarakat. Terkait prosesnya yang minim partisipasi publik dan tidak melibatkan unsur tripartit sejak awal penyusunan, maupun isinya yang hanya menguntungkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat.

Penolakan termasuk dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, tokoh agama lintas kepercayaan, mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan, jurnalis, pendidik, masyarakat adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan lainnya. Seluruhnya menilai bahwa UU Cipta Kerja hanya mementingkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat.

Proses penyusunan dan pengesahan UU Cipta Kerja, juga menjadi sorotan dunia internasional. Bahkan Council of Global Unions yang terdiri dari International Trade Union Confederation (ITUC), UNI Global Union, IndustriAll, BWI, ITF, EI, IFJ, IUF, PSI selaku konfederasi dan federasi serikat pekerja tingkat dunia, bersama federasi serikat pekerja internasional dan serikat pekerja dari berbagai negara, antara lain Japanese Trade Union Confederation (JTUC-Rengo), Central Autonoma de Trabajadores del Peru, FNV Netherlands, Memur-Sen Turky, telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo.

“Mereka menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, karena menimbulkan ancaman bagi proses demokrasi, serta menempatkan kepentingan dan tuntutan investor asing di atas kepentingan pekerja, komunitas dan lingkungan”, tegas Mirah.

Organisasi Serikat Pekerja Internasional juga prihatin bahwa prosedur dan substansi Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan hak asasi manusia di Indonesia, dan hukum hak asasi manusia internasional. Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang di masa depan tidak mengurangi hak dan manfaat yang telah ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 serta standar ketenagakerjaan internasional.

Namun ternyata aspirasi dan penolakan masyarakat nasional dan internasional tidak digubris. Pengesahan UU Cipta Kerja pun dilakukan secara terburu-buru dan dipaksakan. Bahkan saat pengesahan, anggota DPR tidak menerima naskah UU Cipta Kerja yang disahkan.

Menurut Mirah, jargon yang selalu digaungkan Pemerintah untuk kemudahan investasi, ternyata mendapat banyak penolakan dari masyarakat. Bukan karena masyarakatnya anti investasi. Tapi karena kemudahan investasi yang dicanangkan Pemerintah, justru akan membuat rakyat Indonesia kehilangan jaminan untuk dapat hidup layak.

“Jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan kepastian jaminan sosial terancam hilang dengan diundangkannya UU Cipta Kerja,” jelasnya.

Aspek dengan tegas menyatakan disahkannya UU Cipta Kerja terbukti telah menggerus berbagai hak normatif pekerja yang sebelumnya ada dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, antara lain berkurangnya besaran pesangon bagi pekerja yang di PHK, terbukanya potensi eksploitasi pekerja akibat dipermudahnya praktek outsourcing dan kontrak kerja berulang tanpa kepastian jaminan status hubungan kerja, termasuk dihilangkannya komponen survey kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum setiap tahun.

Jiwa Omnibus Law UU Cipta Kerja yang berisi “Flexibility Labor”, “Easy Hiring” dan “Easy Firing” di masa depan akan menimbulkan praktek eksploitasi terhadap rakyat. Sedangkan Negara pada saat itu telah “kehilangan” kewenangannya untuk dapat memberikan jaminan perlindungan kepada rakyat, dalam mendapatkan hak konstitusionalnya untuk bisa hidup sejahtera.

Pemerintah sebagai representasi Negara seharusnya hadir untuk menjamin terpenuhinya jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sesuai amanat UUD 1945. (red)

Komentar